Shinto

Context of Shinto

Shinto (神道, Shintō, secara harfiah bermakna "jalan Tuhan") adalah sebuah agama yang berasal dari Jepang. Diklasifikasikan sebagai Agama Asia Timur oleh para cendekiawan keagamaan, para praktisinya sering menganggapnya sebagai agama asli Jepang. Para cendekiawan terkadang menyebut para praktisinya sebagai 'penganut Shinto', meskipun para penganutnya sendiri jarang menggunakan istilah tersebut. Tidak ada otoritas pusat yang mengendalikan Shinto dan terdapat banyak keragaman di antara para praktisi.

Shinto merupakan politeistik dan melibatkan kami, entitas supernatural yang diyakini menghuni segala sesuatu. Hubungan antara kami dan alam menyebabkan Shinto dianggap animistik. Penyembahan kami dilakukan di altar rumah tangga kamidana, kuil keluarga, dan kuil umum jinja. Kuil...Selengkapnya

Shinto (神道, Shintō, secara harfiah bermakna "jalan Tuhan") adalah sebuah agama yang berasal dari Jepang. Diklasifikasikan sebagai Agama Asia Timur oleh para cendekiawan keagamaan, para praktisinya sering menganggapnya sebagai agama asli Jepang. Para cendekiawan terkadang menyebut para praktisinya sebagai 'penganut Shinto', meskipun para penganutnya sendiri jarang menggunakan istilah tersebut. Tidak ada otoritas pusat yang mengendalikan Shinto dan terdapat banyak keragaman di antara para praktisi.

Shinto merupakan politeistik dan melibatkan kami, entitas supernatural yang diyakini menghuni segala sesuatu. Hubungan antara kami dan alam menyebabkan Shinto dianggap animistik. Penyembahan kami dilakukan di altar rumah tangga kamidana, kuil keluarga, dan kuil umum jinja. Kuil umum dikelola oleh para pendeta, yang dikenal sebagai kannushi, yang mengelola persembahan makanan dan minuman untuk kami tertentu yang dipuja di lokasi tersebut. Hal itu dilakukan untuk menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan kami dan untuk meminta berkah darinya. Ritual umum lainnya termasuk tari kagura, ritus peralihan, dan festival musiman. Kuil umum juga menyediakan perlengkapan keagamaan seperti jimat untuk para penganut agama tersebut dan memfasilitasi berbagai bentuk ramalan. Shinto menempatkan fokus konseptual utama untuk memastikan kesucian, sebagian besar dengan praktik pembersihan seperti ritual mandi dan basuh, terutama sebelum ibadah. Sedikit penekanan ditempatkan pada kode moral tertentu atau keyakinan kehidupan setelah kematian tertentu, meskipun orang yang meninggal dianggap mampu menjadi kami. Agama tersebut tidak memiliki pencipta tunggal atau teks doktrinal tertentu, tetapi berada dalam bentuk keragaman lokal dan daerah.

Meskipun sejarawan memperdebatkan waktu yang tepat dalam sejarah untuk menyebut Shinto sebagai agama yang berbeda, penyembahan kami dapat ditelusuri kembali pada Zaman Yayoi (300 SM-300 M) di Jepang. Buddhisme masuk ke Jepang pada akhir Zaman Kofun (300-538 M) dan menyebar dengan cepat. Sinkretisasi agama membuat penyembahan kami dan Buddhisme tidak dapat dipisahkan secara fungsional, sebuah proses yang disebut shinbutsu-shūgō. Kami mulai dilihat sebagai bagian dari kosmologi Buddha dan semakin digambarkan secara antropomorfik. Tradisi tertulis paling awal mengenai penyembahan kami tercatat dalam Kojiki dan Nihon Shoki dari abad ke-8. Pada abad-abad berikutnya, shinbutsu-shūgō diadopsi oleh keluarga Kekaisaran Jepang. Selama Zaman Meiji (1868-1912), kepemimpinan nasionalis Jepang mengusir pengaruh Buddhis dari penyembahan kami dan membentuk Shinto negara, yang dianggap banyak sejarawan sebagai asal usul Shinto sebagai agama yang berbeda. Kuil berada di bawah pengaruh pemerintah yang berkembang dan masyarakat didorong untuk menyembah kaisar sebagai kami. Dengan terbentuknya Kekaisaran Jepang pada awal abad ke-20, Shinto diekspor ke wilayah lain di Asia Timur. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Shinto secara resmi dipisahkan dari negara.

Shinto terutama ditemukan di Jepang, yang terdapat sekitar 100.000 kuil umum, meskipun para praktisi juga ditemukan di luar negeri. Secara numerik, agama tersebut merupakan agama terbesar di Jepang, diikuti oleh Buddhisme. Sebagian besar penduduk negara tersebut mengambil bagian dalam kegiatan Shinto dan Buddha, terutama festival, yang mencerminkan pandangan umum dalam budaya Jepang bahwa kepercayaan dan praktik berbagai agama tidak harus dilakukan secara eksklusif. Aspek-aspek dari Shinto juga dimasukkan ke dalam berbagai gerakan agama baru di Jepang.

More about Shinto

Riwayat
  • Perkembangan awal
     
    Lonceng dotaku dari zaman Yayoi yang mungkin memainkan peran penting dalam ritus kami pada saat itu.[1]

    Earhart berkomentar bahwa Shinto akhirnya "muncul dari kepercayaan dan praktik Jepang prasejarah",[2] meskipun Kitagawa mencatat bahwa patut dipertanyakan apakah agama prasejarah Jepang dapat secara akurat disebut "Shinto awal".[3] Prasejarah Jepang yang dimaksud adalah zaman Yayoi yang pertama kali menyisakan peninggalan awal dari materi dan ikonografi yang kemudian termasuk ke dalam Shinto.[4] Kami dipuja dalam berbagai bentuk gejala alam selama zaman tersebut; dalam hal itu, sebagian besar ibadah terdiri dari memohon dan meredakan kemarahan mereka, dengan sedikit bukti bahwa mereka dipandang sebagai entitas yang merasa kasihan.[1] Bukti arkeologi menunjukkan bahwa lonceng perunggu dotaku, senjata perunggu, dan cermin logam memainkan peran penting dalam ritual berbasis kami selama zaman Yayoi.[5]

    ...Selengkapnya
    Perkembangan awal
     
    Lonceng dotaku dari zaman Yayoi yang mungkin memainkan peran penting dalam ritus kami pada saat itu.[1]

    Earhart berkomentar bahwa Shinto akhirnya "muncul dari kepercayaan dan praktik Jepang prasejarah",[2] meskipun Kitagawa mencatat bahwa patut dipertanyakan apakah agama prasejarah Jepang dapat secara akurat disebut "Shinto awal".[3] Prasejarah Jepang yang dimaksud adalah zaman Yayoi yang pertama kali menyisakan peninggalan awal dari materi dan ikonografi yang kemudian termasuk ke dalam Shinto.[4] Kami dipuja dalam berbagai bentuk gejala alam selama zaman tersebut; dalam hal itu, sebagian besar ibadah terdiri dari memohon dan meredakan kemarahan mereka, dengan sedikit bukti bahwa mereka dipandang sebagai entitas yang merasa kasihan.[1] Bukti arkeologi menunjukkan bahwa lonceng perunggu dotaku, senjata perunggu, dan cermin logam memainkan peran penting dalam ritual berbasis kami selama zaman Yayoi.[5]

    Pada periode awal ini, Jepang bukan merupakan sebuah negara kesatuan; Jepang terdiri dari beberapa Uji (klan) pada zaman Kofun, yang masing-masing memiliki kami penjaganya sendiri, yang disebut ujigami.[6] Migrasi Korea selama zaman Kofun membawa Konfusianisme dan Buddhisme ke Jepang.[7] Buddhisme memiliki dampak tersendiri pada kultus kami.[8] Kelompok migran dan Jepang yang semakin sejalan dengan pengaruh asing ini membangun kuil Buddha di berbagai wilayah dari pulau Jepang.[8] Beberapa klan saingan yang lebih memusuhi pengaruh asing ini mulai mengadaptasi kuil kami mereka agar lebih mirip dengan struktur Buddhis yang baru.[8] Pada akhir abad ke-5, pemimpin klan Yamato Yūryaku menyatakan dirinya daiō ("raja besar") dan mendirikan hegemoni atas sebagian besar Jepang.[9] Sejak awal abad ke-6 M, gaya ritual yang disukai oleh Yamato mulai menyebar ke kuil kami lainnya di seluruh Jepang ketika Yamato memperluas pengaruh teritorial mereka.[10] Buddhisme juga berkembang. Menurut Nihon Shoki, pada tahun 587 Kaisar Yōmei memeluk agama Buddha dan agama Buddha menyebar, di bawah dukungannya.[11]

     
    Sebuah halaman dari Shinpukuji-bon Kojiki dari abad ke-14, yang merupakan salinan dari Kojiki yang ditulis pada abad ke-8

    Pada pertengahan abad ke-7, sebuah kode hukum yang disebut Ritsuryō diadopsi untuk mendirikan pemerintahan terpusat bergaya Tiongkok.[12] Sebagai bagian dari kode hukum tersebut, Jingikan ("Dewan kami") dibentuk untuk melakukan ritus-ritus kenegaraan dan mengoordinasikan ritual provinsi dengan ritus-ritus kenegaraan di ibu kota.[13] Hal itu dilakukan sesuai dengan kode hukum kami yang disebut Jingiryō,[13] yang meniru Kitab Ritus dari Tiongkok.[14] Jingikan terletak di halaman istana dan memelihara daftar kuil dan pendeta.[15] Kalender tahunan ritus-ritus kenegaraan diperkenalkan untuk membantu menyatukan Jepang melalui penyembahan kami.[16] Ritus-ritus yang diamanatkan secara sah tersebut diuraikan dalam Kode Yōrō dari 718,[14] dan diperluas dalam Jogan Gishiki pada sekitar tahun 872 dan Engi Shiki pada tahun 927.[14] Di bawah Jingikan, beberapa kuil ditetapkan sebagai kansha ("kuil resmi") dan diberi hak dan tanggung jawab khusus.[17] Hardacre melihat Jingikan sebagai "sumber kelembagaan dari Shinto".[16]

    Pada awal abad ke-8, Kaisar Tenmu menugaskan kompilasi legenda dan silsilah klan Jepang, yang menghasilkan penyelesaian Kojiki pada tahun 712. Teks ini dirancang untuk melegitimasi dinasti yang berkuasa, dan menciptakan sebuah versi tetap dari berbagai cerita yang sebelumnya beredar dalam tradisi lisan.[18] Kojiki menghilangkan referensi apapun terhadap Buddhisme,[19] sebagian karena berusaha untuk mengabaikan pengaruh asing dan menitikberatkan narasi yang menekankan unsur-unsur asli dari budaya Jepang.[20] Beberapa tahun kemudian, "Nihon shoki" ditulis. Berbeda dengan Kojiki, teks tersebut membuat berbagai referensi terhadap agama Buddha,[19] dan ditujukan untuk pembaca asing.[21] Kedua teks ini berusaha untuk menetapkan keturunan klan kekaisaran dari kami matahari Amaterasu,[19] meskipun ada banyak perbedaan dalam narasi kosmogonik yang diberikan.[22] Dengan cepat, Nihon shoki mengalahkan Kojiki dari segi pengaruhnya.[21] Teks-teks lain yang ditulis pada saat itu juga mengacu pada tradisi lisan mengenai kami. Misalnya Sendari kuji hongi mungkin disusun oleh klan Mononobe sedangkan Kogoshui mungkin disusun untuk klan Imibe, dan dalam kasus tersebut kedua teks itu dirancang untuk menyoroti asal usul ilahi dari masing-masing garis keturunan tersebut.[23] Perintah pemerintah pada tahun 713 meminta setiap daerah untuk menghasilkan fudoki, catatan geografi lokal, produk, dan cerita, dengan cerita yang mengungkapkan lebih banyak tradisi mengenai kami yang hadir saat itu.[24]

    Sejak abad ke-8, penyembahan kami dan agama Buddha terjalin erat dalam masyarakat Jepang.[25] Di samping kaisar dan istana melakukan ritual Buddhis, mereka juga melakukan ritual lainnya untuk menghormati kami.[26] Tenmu misalnya menunjuk seorang putri kekaisaran perawan untuk melayani sebagai saiō, bentuk dari pendeta wanita, di Kuil Ise atas namanya, tradisi tersebut dilanjutkan oleh kaisar berikutnya.[27] Dari abad ke-8 dan seterusnya hingga zaman Meiji, kami dimasukkan ke dalam kosmologi Buddhis dengan berbagai cara.[28] Salah satu pandangannya adalah kami menyadari bahwa seperti bentuk kehidupan lainnya, mereka juga terjebak dalam siklus samsara (kelahiran kembali) (terlahir kembali) dan untuk menghindarinya mereka harus mengikuti ajaran Buddha.[28] Pendekatan alternatif memandang kami sebagai entitas yang baik hati yang melindungi agama Buddha, atau bahwa kami itu sendiri adalah Buddha, atau makhluk yang telah mencapai pencerahan. Dalam hal ini, mereka dapat berupa hongaku, roh murni dari Buddha, atau honji suijaku, transformasi dari Buddha dalam upaya mereka untuk membantu makhluk hidup.[28]

    Zaman Nara

    Zaman ini menjadi tuan rumah dari banyak perubahan pada negara, pemerintahan, dan agama. Ibukota dipindahkan kembali ke Heijō-kyō (sekarang Nara), pada tahun 710 M oleh Maharani Genmei karena kematian kaisar. Praktek ini diperlukan karena kepercayaan Shinto pada ketidaksucian dalam kematian dan kebutuhan untuk menghindari kotoran tersebut. Namun, praktik pemindahan ibu kota karena "ketidakmurnian dalam kematian" ini kemudian dihapuskan oleh Kode Taihō dan peningkatan pengaruh Buddhis.[29] Pembentukan kota kekaisaran dalam hubungannya dengan Kode Taihō penting bagi Shinto karena kantor ritus Shinto menjadi lebih kuat dalam mengasimilasi kuil klan lokal ke dalam lipatan kekaisaran. Kuil-kuil baru dibangun dan berasimilasi setiap kali kota dipindahkan. Seluruh kuil agung diatur di bawah Taihō dan diwajibkan untuk memperhitungkan pendapatan, pendeta, dan praktik karena kontribusi nasional mereka.[29]

    Zaman Meiji dan Kekaisaran Jepang
     
    Chōsen Jingū di Seoul, Korea, didirikan selama pendudukan Jepang di semenanjung

    Breen dan Teeuwen mencirikan periode antara tahun 1868 dan 1915, selama zaman Meiji, sebagai "tahun-tahun pembentukan" Shinto modern.[30] Berbagai cendekiawan berpendapat bahwa Shinto pada dasarnya "diciptakan" pada zaman tersebut.[30] Fridell berpendapat bahwa para cendekiawan menyebut periode dari tahun 1868 hingga 1945 sebagai "periode Shinto Negara" karena, "selama beberapa dekade ini, unsur-unsur Shinto berada di bawah banyak pengaruh dan kontrol negara yang terbuka karena pemerintah Jepang secara sistematis menggunakan pemujaan kuil sebagai kekuatan utama untuk memobilisasi loyalitas kekaisaran atas nama pembangunan bangsa modern."[31] Namun, pemerintah telah memperlakukan kuil sebagai perpanjangan dari pemerintah sebelum Meiji; misalnya Reformasi Tenpō. Selain itu, menurut cendekiawan Jason Ānanda Josephson, tidak akurat untuk menggambarkan kuil sebagai "agama negara" atau "teokrasi" selama periode ini karena mereka tidak memiliki organisasi, atau doktrin, dan tidak tertarik pada konversi.[32]

    Restorasi Meiji pada tahun 1868 didorong oleh pembaruan etika Konfusianisme dan patriotisme kekaisaran di antara kelas penguasa Jepang.[33] Di antara para reformis ini, agama Buddha dipandang sebagai pengaruh yang merusak yang telah merusak apa yang mereka bayangkan sebagai kemurnian dan keagungan asli Jepang.[33] Mereka ingin menempatkan penekanan baru pada pemujaan kami sebagai bentuk ritual adat, suatu sikap yang juga didorong oleh kecemasan mengenai ekspansionisme Barat dan ketakutan bahwa Kekristenan akan berkembang di Jepang.[33]

    Pada tahun 1868, semua pendeta kuil ditempatkan di bawah otoritas Jingikan yang baru, atau Dewan Urusan Kami.[34] Sebuah proyek pemisahan paksa pemujaan kami dari agama Buddha dilaksanakan, dengan biksu, dewa, bangunan, dan ritual Buddha dilarang dari kuil kami.[33] Citra Buddhis, kitab suci, dan peralatan ritual dibakar, ditutupi kotoran, atau dihancurkan.[33] Pada tahun 1871, hierarki kuil yang baru diperkenalkan, dengan kuil nasional dan kekaisaran berada di puncak.[35] Kependataan secara turun-temurun dihapuskan dan sistem baru yang disetujui negara untuk mengangkat pendeta diperkenalkan.[35] Pada tahun 1872, Jingikan ditutup dan diganti dengan Kyobusho, atau Kementerian Pendidikan.[36] Kyobusho mengoordinasikan kampanye dengan Kyodoshoku dikirim ke seluruh negeri untuk mempromosikan "ajaran agung" di Jepang, yang mencakup penghormatan terhadap kami dan kepatuhan kepada kaisar.[36] Kampanye ini dihentikan pada tahun 1884.[36] Pada tahun 1906, ribuan kuil desa digabungkan sehingga sebagian besar komunitas kecil hanya memiliki satu kuil, yang dapat mengadakan ritus untuk menghormati kaisar.[37] Shinto secara efektif menjadi kultus negara, yang dipromosikan dengan semangat yang meningkat menjelang Perang Dunia II.[37]

    Pada tahun 1882, pemerintah Meiji menetapkan 13 gerakan keagamaan yang bukan Buddha maupun Kristen sebagai bentuk "Sekte Shinto".[38] Jumlah dan nama sekte yang diberi sebutan formal ini bervariasi;[39] sering kali mereka menggabungkan ide-ide dari tradisi Buddhisme, Kristen, Konfusianisme, Taois, dan esoterik Barat dengan Shinto.[40] Pada zaman Meiji, banyak tradisi lokal telah melesap dan digantikan oleh praktik standar nasional yang didorong dari Tokyo.[41]

    Meskipun dukungan pemerintah terhadap kuil menurun, nasionalisme Jepang tetap terkait erat dengan legenda dari yayasan dan kaisar, seperti yang dikembangkan oleh para cendekiawan kokugaku. Pada tahun 1890, Reskrip Kekaisaran tentang Pendidikan dikeluarkan, dan para pelajar secara ritual diminta untuk mengucapkan sumpahnya untuk "menawarkan dirimu dengan berani kepada Negara" serta untuk melindungi keluarga Kekaisaran. Proses seperti itu terus berlanjut selama awal zaman Shōwa, dan berakhir tiba-tiba pada Agustus 1945 ketika Jepang kalah perang di Pasifik. Pada 1 Januari 1946, Kaisar Shōwa mengeluarkan Ningen-sengen, dengan mengutip Sumpah dalam Lima Pasal dari Kaisar Meiji dan menyatakan bahwa ia bukan seorang akitsumikami (dewa dalam bentuk manusia).[42]

    Pascaperang
     
    Markas besar Asosiasi Kuil Shinto di Shibuya, Tokyo.

    Selama pendudukan AS, sebuah konstitusi baru disusun. Konstitusi tersebut menjunjung tinggi kebebasan beragama di Jepang dan memprakarsai pemisahan agama dan negara, sebuah tindakan yang dirancang untuk menghapus "Shinto negara" (kokka shinto).[43] Sebagai bagian dari itu, Kaisar secara resmi menyatakan bahwa ia bukan seorang kami;[44] setiap ritual Shinto yang dilakukan oleh keluarga kekaisaran menjadi urusan pribadi mereka sendiri.[45] Pembubaran ini mengakhiri subsidi pemerintah untuk kuil dan memberikan tempat-tempat suci dengan kebebasan baru untuk mengatur urusan mereka sendiri.[44] Pada tahun 1946, banyak kuil kemudian membentuk organisasi sukarela, Asosiasi Kuil Shinto (Jinja Honchō).[46] Pada tahun 1956, asosiasi tersebut mengeluarkan pernyataan kepercayaan, keishin seikatsu no kōryō ("karakteristik umum dari kehidupan yang dimuliakan dalam penghormatan kepada kami"), untuk merangkum apa yang mereka anggap sebagai prinsip Shinto.[47] Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 80% dari kuil Shinto di Jepang merupakan bagian dari asosiasi ini.[48]

    Pada dekade pascaperang, banyak orang Jepang menyalahkan Shinto karena mendorong kebijakan militeristik yang mengakibatkan kekalahan dan pendudukan.[44] Sedangkan yang lain tetap bernostalgia dengan sistem Shinto negara,[49] dan kekhawatiran berulang kali diungkapkan bahwa sektor-sektor masyarakat Jepang bersekongkol untuk memulihkannya.[50] Pascaperang, berbagai perdebatan hukum telah terjadi atas keterlibatan pejabat publik dalam Shinto.[51] Pada tahun 1965, misalnya, kota Tsu, Prefektur Mie membayar empat pendeta Shinto untuk menyucikan tempat di mana balai atletik kota akan dibangun. Kritikus membawa kasus ini ke pengadilan, mengklaim hal tersebut bertentangan dengan pemisahan konstitusional agama dan negara; pada tahun 1971, pengadilan tinggi memutuskan bahwa tindakan pemerintah kota tersebut merupakan inkonstitusional, meskipun hal ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 1977.[52]

    Pada periode pascaperang, motif Shinto sering dicampur dengan gerakan agama baru di Jepang;[53] dari kelompok Sekte Shinto, Tenrikyo mungkin yang paling sukses dalam dekade pasca-perang,[49] meskipun pada tahun 1970 menolak identitas Shinto sendiri.[54] Perspektif Shinto juga memberikan pengaruh pada budaya populer. Sutradara film Hayao Miyazaki dari Studio Ghibli misalnya mengakui pengaruh Shinto dalam pembuatan filmnya seperti Spirited Away.[55] Shinto juga menyebar ke luar negeri melalui migran Jepang dan konversi oleh orang non-Jepang.[56] Kuil Agung Tsubaki di Suzuka, Prefektur Mie, adalah kuil pertama mendirikan cabang di luar negeri: Kuil Agung Tsubaki Amerika, awalnya berlokasi di California dan kemudian pindah ke Granite Falls, Washington.[57]

    Selama abad ke-20, sebagian besar penelitian akademis mengenai Shinto dilakukan oleh para teolog Shinto, seringkali pendeta,[58] membawa tuduhan bahwa tindakan tersebut sering mengaburkan teologi dengan analisis sejarah.[59] Sejak tahun 1980-an, terdapat peningkatan minat akademik pada Shinto baik di Jepang maupun luar negeri.[60]

    ^ a b Hardacre 2017, hlm. 19. ^ Earhart 2004, hlm. 2. ^ Kitagawa 1987, hlm. 39. ^ Littleton 2002, hlm. 14; Hardacre 2017, hlm. 18. ^ Littleton 2002, hlm. 15; Hardacre 2017, hlm. 19. ^ Littleton 2002, hlm. 15; Hardacre 2017, hlm. 24. ^ Hardacre 2017, hlm. 23. ^ a b c Hardacre 2017, hlm. 24. ^ Hardacre 2017, hlm. 25. ^ Hardacre 2017, hlm. 27. ^ Hardacre 2017, hlm. 28. ^ Hardacre 2017, hlm. 17. ^ a b Hardacre 2017, hlm. 17–18. ^ a b c Hardacre 2017, hlm. 31. ^ Hardacre 2017, hlm. 33. ^ a b Hardacre 2017, hlm. 18. ^ Hardacre 2017, hlm. 33-34. ^ Hardacre 2017, hlm. 47–48. ^ a b c Hardacre 2017, hlm. 64. ^ Hardacre 2017, hlm. 68. ^ a b Hardacre 2017, hlm. 69. ^ Hardacre 2017, hlm. 57–59. ^ Hardacre 2017, hlm. 64-45. ^ Littleton 2002, hlm. 43; Hardacre 2017, hlm. 66. ^ Cali & Dougill 2013, hlm. 8. ^ Hardacre 2017, hlm. 72. ^ Hardacre 2017, hlm. 82-83. ^ a b c Kuroda 1981, hlm. 9. ^ a b Richard Pilgrim, Robert Ellwood (1985). Japanese Religion (edisi ke-1st). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall Inc. hlm. 18–19. ISBN 978-0-13-509282-8.  ^ a b Breen & Teeuwen 2010, hlm. 7. ^ Wilbur M. Fridell, "A Fresh Look at State Shintō", Journal of the American Academy of Religion 44.3 (1976), 547–561 in JSTOR; quote p. 548 ^ Josephson, Jason Ānanda (2012). The Invention of Religion in Japan. University of Chicago Press. p. 133. ISBN 0226412342. ^ a b c d e Breen & Teeuwen 2010, hlm. 8. ^ Breen & Teeuwen 2010, hlm. 7-8. ^ a b Breen & Teeuwen 2010, hlm. 9. ^ a b c Breen & Teeuwen 2010, hlm. 10. ^ a b Breen & Teeuwen 2010, hlm. 11. ^ Offner 1979, hlm. 215. ^ Bocking 1997, hlm. 112. ^ Littleton 2002, hlm. 100-101. ^ Breen & Teeuwen 2010, hlm. 12. ^ Emperor, Imperial Rescript Denying His Divinity (Professing His Humanity), National Diet Library ^ Ueda 1979, hlm. 304; Kitagawa 1987, hlm. 171; Bocking 1997, hlm. 18; Earhart 2004, hlm. 207. ^ a b c Earhart 2004, hlm. 207. ^ Ueda 1979, hlm. 304. ^ Bocking 1997, hlm. 75; Earhart 2004, hlm. 207–208. ^ Bocking 1997, hlm. 94. ^ Bocking 1997, hlm. 76. ^ a b Kitagawa 1987, hlm. 172. ^ Picken 2011, hlm. 18. ^ Bocking 1997, hlm. 18. ^ Ueda 1979, hlm. 307. ^ Nelson 1996, hlm. 180. ^ Bocking 1997, hlm. 113. ^ Boyd & Nishimura 2016, hlm. 3. ^ Picken 2011, hlm. xiv; Suga 2010, hlm. 48. ^ Picken 2011, hlm. 32. ^ Bocking 1997, hlm. 176. ^ Hardacre 2017, hlm. 4. ^ Bocking 1997, hlm. 177.
    Read less

Where can you sleep near Shinto ?

Booking.com
490.713 visits in total, 9.208 Points of interest, 405 Destinations, 7 visits today.