Agama Hindu

Paco Pater - CC BY-SA 4.0 Jean-Pierre Dalbéra from Paris, France - CC BY 2.0 Lincon Mishra - CC BY-SA 3.0 Pk Pratham ( Pratik Patel ) - CC BY-SA 4.0 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 Prasanthajantha - CC BY-SA 4.0 Gktambe at English Wikipedia - Public domain Photo Dharma from Sadao, Thailand - CC BY 2.0 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 http://en.wikipedia.org/wiki/User_talk:Vinayreddym - Public domain Deepak Kumar Nayak (Cuttack) - CC BY-SA 4.0 muhd rushdi samsudin from johor + terengganu, malaysia - CC BY-SA 2.0 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 No machine-readable author provided. Mattes assumed (based on copyright claims). - CC BY-SA 2.0 Gktambe at English Wikipedia - Public domain Abhishek Dutta (http://abhishekdutta.org), fix chromatic aberration by uploader - CC BY 3.0 Government of Odisha - CC BY 4.0 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 Rajesh Dhungana - CC BY-SA 4.0 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 Jean-Pierre Dalbéra from Paris, France - CC BY 2.0 Jean-Pierre Dalbéra from Paris, France - CC BY 2.0 Jean-Pierre Dalbéra from Paris, France - CC BY 2.0 Richard Mortel - CC BY 2.0 Ragib Hasan - CC BY 2.5 No machine-readable author provided. Airunp assumed (based on copyright claims). - CC BY-SA 2.5 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 Abrar Alam Khan - CC BY-SA 3.0 9to5iOS - CC BY-SA 4.0 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 Puja Rakshit - CC BY-SA 4.0 Pk Pratham ( Pratik Patel ) - CC BY-SA 4.0 Abhishek Dutta (http://abhishekdutta.org), fix chromatic aberration by uploader - CC BY 3.0 Arupparia - CC BY-SA 4.0 Abhishek Dutta (http://abhishekdutta.org), fix chromatic aberration by uploader - CC BY 3.0 Gktambe at English Wikipedia - Public domain Pk Pratham ( Pratik Patel ) - CC BY-SA 4.0 Gktambe at English Wikipedia - Public domain Puja Rakshit - CC BY-SA 4.0 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 TeshTesh - CC BY-SA 4.0 http://en.wikipedia.org/wiki/User_talk:Vinayreddym - Public domain Harshiyparik - CC BY-SA 4.0 Jean-Pierre Dalbéra from Paris, France - CC BY 2.0 TeshTesh - CC BY-SA 4.0 Abhishek Dutta (http://abhishekdutta.org), fix chromatic aberration by uploader - CC BY 3.0 Vsundar at English Wikipedia - CC BY-SA 3.0 Gaurhav H. Atri - CC BY-SA 2.0 Pk Pratham ( Pratik Patel ) - CC BY-SA 4.0 Jean-Pierre Dalbéra from Paris, France - CC BY 2.0 Ascii002 - CC BY-SA 3.0 Rishabh gaur - CC BY-SA 4.0 Teseum - CC BY-SA 4.0 Jean-Pierre Dalbéra from Paris, France - CC BY 2.0 User: (WT-shared) Nishantman at wts wikivoyage - CC BY-SA 1.0 Puja Rakshit - CC BY-SA 4.0 Lincon Mishra - CC BY-SA 3.0 The original uploader was Nikkul at English Wikipedia. - CC BY-SA 2.0 Pk Pratham ( Pratik Patel ) - CC BY-SA 4.0 SUDEEP PRAMANIK - CC BY-SA 4.0 R.K.Lakshmi - CC BY-SA 4.0 Abrar Alam Khan - CC BY-SA 3.0 MajaK. - CC BY 3.0 http://en.wikipedia.org/wiki/User_talk:Vinayreddym - Public domain No images

Context of Agama Hindu

Hinduisme merupakan kepercayaan dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal, yang mengandung beraneka ragam tradisi. Kepercayaan ini meliputi berbagai aliran, di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu pandangan luas akan Dharmasastra tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Hinduisme cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam seperti pada agama Abrahamik.

Hinduisme diklaim sebagian orang sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini, dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म), artinya "darma abadi" atau "jalan abadi" yang melampaui asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, ...Selengkapnya

Hinduisme merupakan kepercayaan dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal, yang mengandung beraneka ragam tradisi. Kepercayaan ini meliputi berbagai aliran, di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu pandangan luas akan Dharmasastra tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Hinduisme cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam seperti pada agama Abrahamik.

Hinduisme diklaim sebagian orang sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini, dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म), artinya "darma abadi" atau "jalan abadi" yang melampaui asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.

Para ahli dari barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "Sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa India.

Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.

Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu. Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).

Dengan penganut sekitar 1 miliar jiwa, agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di dunia, setelah Kristen dan Islam.

More about Agama Hindu

Riwayat
  • Periodisasi

    James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania.[1][2] Periodisasi ini menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya.[3] Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[4] Smart[5] dan Michaels[6] tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[a] sedangkan Flood[7] dan Muesse[9][10] mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[11]

    Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:

    ...Selengkapnya
    Periodisasi

    James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania.[1][2] Periodisasi ini menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya.[3] Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[4] Smart[5] dan Michaels[6] tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[a] sedangkan Flood[7] dan Muesse[9][10] mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[11]

    Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:

    Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[b] Jainisme, dan Buddhisme. Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan dengan suburnya "Hinduisme Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha Mahayana di India.[13] Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme Asketis",[14] sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.[15] Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM dan 200 SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama Hindu, yaitu karma, reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak ditemui dalam agama Weda—berkembang pada periode tersebut.[16]Smart[5] Michaels[17] Muesse[10] Flood[18]Umum Detail Peradaban Lembah Sungai Indus
    dan
    Periode Weda
    (ca. 3000–1000 SM) Agama-Agama Pra-Weda
    (prasejarah–ca. 1750 SM) Peradaban Lembah Sungai Indus
    (3300–1400 SM) Peradaban Lembah Sungai Indus
    (ca. 2500–1500 SM) Agama Weda Kuno
    (ca. 1750–500 SM) Periode Weda Awal
    (ca. 1750–1200 SM) Periode Weda
    (1600–800 SM) Periode Weda
    (ca. 1500–500 SM) Periode Weda Pertengahan
    (dari 1200 SM) Periode Praklasik
    (ca. 1000 SM–100 M) Periode Weda Akhir
    (dari 850 SM) Periode Klasik
    (800–200 SM) Reformisme Asketis
    (ca. 500–200 SM) Periode Epos dan Purana
    (ca. 500 SM–500 M) Hinduisme Klasik
    (ca. 200 SM–1100 M) Hinduisme Praklasik
    (ca. 200 SM–300 M) Periode Epos dan Purana
    (200 SM–500 M) Periode Klasik
    (ca. 100 M–1000 M) "Zaman Kejayaan"
    (Kemaharajaan Gupta)
    (ca. 320–650 M) Hinduisme-Klasik Akhir
    (ca. 650–1100 M) Periode-Purana Pertengahan dan Akhir
    (500–1500 M) Periode-Purana Pertengahan dan Akhir
    (500–1500 M) Peradaban Hindu-Islam
    (ca. 1000–1750 M) Penaklukan Muslim dan
    Kemunculan Sekte-Sekte Hinduisme
    (ca. 1100–1850 M) Abad Modern
    (1500–kini) Abad Modern
    (ca. 1500–kini) Periode Modern
    (ca. 1750–kini) Hinduisme Modern
    (sejak ca. 1850) Agama-Agama Pra-Weda  Artefak yang disebut cap Shiva-pashupati (Siwa sang penguasa satwa), berasal dari masa Peradaban Lembah Sungai Indus.

    Ras manusia pertama yang menduduki India (ca. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat periode Paleolitik) adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan penduduk asli Australia.[19] Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang migrasi pada masa berikutnya.[20]

    Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-Dravida [ca. 4000[21] hingga 6000 SM][22] dan Indo-Arya [ca. 2000[23] hingga 1500 SM][24]) dan Mongoloid (Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[c] ada kemungkinan berasal dari Elam, kini merupakan wilayah Iran.[21][22][25][26]

    Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu[d]—berasal dari zaman mesolitik[28] dan neolitik.[27] Beberapa agama suku di India masih bertahan, mendahului dominansi agama Hindu, tapi tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan antara masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.[29]

    Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM) mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi Hindu di kemudian hari.[30] Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John Marshall) sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari figur Sakti. Praktik-praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang berlanjut ke periode Weda meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan tetapi, hubungan antara dewa-dewi dan praktik agama lembah sungai Indus dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek perselisihan politis serta perdebatan para ahli.[31]

    Periode Weda  Peta dataran subur India Utara.

    Periode Weda—yang berlangsung dari ca. 1750 sampai 500 SM[6][e]—disebut demikian karena berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-Arya,[33][f] yang bermigrasi ke India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus[34][35][36] (ada kemungkinan dari stepa Asia Tengah).[25][37] Bangsa ini membawa serta bahasa[38] dan agama mereka.[24][39] Agama mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utara setelah ca. 1100 SM dan menjadi pastoralis.[40][41][42]

    Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari bahan-bahan agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis),[43] sastra yang mendasari tradisi pada masa itu adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab tertua di antara sastra Weda tersebut adalah Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada periode 1700–1100 SM.[g] Sastra Weda memusatkan pemujaan kepada para dewa seperti Indra, Baruna, dan Agni, serta melangsungkan upacara Soma. Kurban dengan api, yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan merapalkan mantra-mantra Weda.[45][46] Sastra Weda dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki dataran India Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat penggembala menuju masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul. Masyarakat baru tersebut melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur tersebut. Mereka dimasukkan ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas politik dan keagamaan berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.[47]

    Selama Periode Weda Awal (ca. 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut.[48] Setelah 1100 SM, seiring ditemukannya besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris.[49][50] Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan suku Kuru.[40][51] Kerajaan tersebut merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi masyarakat setingkat negara—yang pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar 1000 M.[40] Secara terang-terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode Weda sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan, dan mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban India sebagai upacara-upacara srauta,[40] yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".[47][52]

    Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-kitab Upanishad tertua.[53] Upanishad membentuk suatu dasar teoretis bagi Hinduisme Klasik dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari Weda).[54] Kitab-kitab Upanishad kuno menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah.[55] Spekulasi monistis yang beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci Hindu Bhagawadgita.[56]

    Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah prinsip integrasi yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala sesuatu di dalamnya.[57] Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan.[58] Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang dipandang sebagai aspek dari reta.[59] Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-Iran, yaitu agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-Aryan) dan Zoroastrianisme (Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang mirip dengan ṛta dalam Weda.[60]

    Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer.[61] Agama berbasis Weda pada periode selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal—seperti pemujaan Yaksa[47][62][63]—dan ia sendiri merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.[64]

    Reformisme Asketis
    Mahavira 
    Mahavira
    Buddha Gautama 
    Siddhartha Gautama
    Dua tokoh terkemuka dari golongan Sramana, tradisi yang tidak mengakui kewenangan sastra Weda. Di kemudian hari, Mahavira menjadi figur utama dalam Jainisme, sedangkan Siddhartha Gautama dalam Buddhisme.

    Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung terjadinya gerakan asketis atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.[65] Mahavira (ca. 549–477 SM, pemuka Jainisme) dan Buddha Gautama (ca. 563–483 SM, penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut.[66] Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan pra-Weda, yang juga meliputi Samkhya dan Yoga:

    Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya,[h] tetapi mencerminkan kosmologi dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang tinggal] di India bagian timur laut–dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India lainnya yang tidak berbasis Weda.[i][67][68]

    Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian (siklus reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.[69]

    James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915), dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.[70]

    Hinduisme Klasik

    Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan zaman kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama Islam ke Asia Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.

    Hinduisme Praklasik

    Pada periode dari 500[52] hingga 200 SM,[71] dan ca. 300 M, terjadi "sintesis Hindu",[52] yang menyerap pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha,[71][72] serta kemunculan tradisi bhakti dalam balutan Brahmanisme melalui pustaka Smerti.[73] Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan agama Buddha dan Jainisme.[74]

    Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama berbasis Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah naungan agama Weda.[75] Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornya[15] dan harus bersaing dengan Buddhisme dan Jainisme,[73] agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk menonjolkan ajarannya.[75] Menurut Embree:

    Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan [agamanya] sebagai maksud untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang lebih heterodoks. Pada saat yang sama, di kalangan agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan sastra Weda telah memberikan suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang ada].[j][75]

    Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal tersebut tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode itu.[76] Kitab-kitab Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan Weda, sehingga pengakuan terhadap kewenangan Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan Hinduisme dengan aliran heterodoks yang menolak Weda.[77] Sebagian besar gagasan dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari pustaka Smerti, yang kemudian menjadi inspirasi dasar bagi kebanyakan umat Hindu.[76]

    Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke dalam Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman Masehi.[78] Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan ajaran agama. Sastra Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita tentang para dewa-dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka melawan para rakshasa. Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilan[79] konsolidasi agama Hindu,[79] dengan memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana menjadi suatu kebaktian yang teistis.[79][80][81]

    Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal, meliputi Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.[82]

    "Zaman Kejayaan"  Candi Dashavatara di Deogarh, negara bagian Uttar Pradesh, India. Candi ini dibangun pada abad ke-6, era Dinasti Gupta.

    Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring dengan berkembangnya perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi prosedur legal, dan pemberantasan buta huruf.[83] Buddhisme aliran Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti Gupta,[84] yang dipimpin para raja penganut Waisnawa.[85] Kedudukan para brahmana diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi Hindu.[83] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, sastra Purana mulai ditulis, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang menjalani akulturasi.[86] Para raja Gupta melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka.[85] Hal ini menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism), yang berbeda dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.[86]

    Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan tradisi bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan). Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 – ke-10)[87] serta para Alwar dari aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi bhakti ke berbagai penjuru India dari abad ke-12 hingga ke-18.[88][87]

    Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi intelektual—kurun waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat India, ketika filsafat Hindu dan Buddha tumbuh subur secara berdampingan.[89] Carwaka, mazhab materialisme ateistis, tampil di India Utara sebelum abad ke-8.[90]

    Hinduisme Klasik Akhir

    Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India mengalami desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan sistem feodal. Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar. Maharaja sulit dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan,[91] sebagaimana yang digambarkan dalam mandala Tantra, dan kadang kala raja digambarkan sebagai pusat mandala.[92]

    Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan religius.[93] Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis ritualistis (ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang.[93] Gerakan rakyat dan kebaktian mulai bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya] aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra, meskipun pengelompokan menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-aliran tersebut.[93] Gerakan keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar di India.[93] Hal tersebut tersirat dari penghentian ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran Buddha sebagai pelindung kerajaan.[94]

    Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang dialami Dinasti Gupta, tanah-tanah perawan dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin keuntungan agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga memberikan status bagi kelas penguasa yang baru.[95] Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru India, berinteraksi dengan warga lokal yang menganut kepercayaan dan ideologi berbeda. Para brahmana menggunakan Purana untuk mengajak berbagai klan menjadi masyarakat agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana.[96] Menurut Flood, para brahmana yang mengikuti agama berbasis Purana kemudian dikenal sebagai Smarta, artinya orang yang bersembahyang berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu penganut Purana.[97] Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam sistem warna, demi mengendalikan tindak tanduk kaum "kesatria dan sudra baru" tersebut.[98] Kelompok-kelompok brahmana semakin besar dengan mengikutsertakan orang lokal, seperti pendeta dan rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana lainnya.[96] Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-aliran Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat silsilah yang luas sehingga dapat memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan. Sementara itu, ajaran Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara orang yang terpilih dengan rakyat, dan chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda dengan model penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum Rajput Hindu.[98]

     Lukisan Kresna sebagai Gowinda atau "pelindung para sapi", dari abad ke-19.

    Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal di tangan para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (Puranic Hinduism),[86] bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian melintangi segala agama-agama yang ada.[99] Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan yang terdiri dari banyak bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan gagasan-gagasan bertentangan dan berbagai tradisi pemujaan.[99] Agama ini berbeda dengan Smarta yang menjadi pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis, pluralisme sekte, pengaruh Tantra, dan pengutamaan bhakti.[99]

    Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme Puranis. Wisnu dan Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:

    Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan bahkan Narasinga membantu pemaduan simbol-simbol totem populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan dengan babi hutan, yang umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan [inkarnasi] lainnya seperti Kresna dan Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.[k][100]

    Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama diungkapkan dalam Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus berbasis naga, yaksa, bukit, dan pepohonan.[101] Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan menambahkan kata Isa atau Iswara pada nama dewa-dewa lokal, contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara.[102] Dalam lingkungan keluarga raja pada abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi Hindu. Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu awatara Wisnu.[103]

    Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama Buddha[104]—dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para filsuf pendahulunya.[105] Pada masa kini, karena pengaruh Orientalisme Barat dan Perenialisme terhadap Neo-Wedanta India dan nasionalisme Hindu,[106] Adwaita Wedanta mendapatkan sambutan yang luas dalam kebudayaan India dan di luar India sebagai contoh paradigmatis dari spiritualitas Hindu.[106]

    Kehadiran Islam dan sekte Hindu  Reruntuhan Candi Somnath pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan berkali-kali selama periode penaklukan India oleh Muslim, sampai akhirnya dipugar pada tahun 1951.

    Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama periode penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa selanjutnya.[107] Pada periode tersebut, agama Buddha memudar secara drastis, dan banyak umat Hindu pindah agama ke Islam.[108][109] Banyak penguasa muslim beserta panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan menindas kaum non-muslim;[110][111] akan tetapi, beberapa penguasa muslim seperti Akbar bersikap lebih toleran.

    Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru Ramanuja yang terkemuka, serta Guru Madhwa, dan Sri Caitanya.[107] Pengikut gerakan Bhakti beralih dari konsep Brahman yang abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad sebelumnya—dengan tradisi kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan para awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama Kresna dan Rama.[112] Menurut Nicholson, antara abad ke-17 dan ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai menarik benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis dalam Upanishad, wiracarita, Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum.[113] Lorenzen menentukan bahwa asal mula identitas ke-Hindu-an yang khas berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu,[114] dan dari suatu proses pencarian jati diri yang membedakan diri dengan muslim,[115] yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[116] Baik cendekiawan India ataupun Eropa—yang mempopulerkan istilah "Hinduisme" pada abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut.[117] Michaels menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.[118]

    Hinduisme masa kini

    Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai bangkit pada abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama Hindu, baik di India ataupun di Barat.[119] Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan India dari sudut pandang Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat" agama-agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda,[120] sambil membuat gagasan bahwa "Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari berbagai adat keagamaan dan gambaran populer mengenai ‘India yang mistis’.[121][119] Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa gerakan reformasi Hindu seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh Gereja Unitarian,[122] bersama dengan gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama memiliki dasar mistisisme yang sama.[123] "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka seperti Vivekananda, Aurobindo, serta Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman populer mengenai agama Hindu.[124][125][126][127]

    Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S. Iyengar, Paramahansa Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy, dan Swami Rama, yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka dasar agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru, mengangkat pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta menarik pengikut baru dan perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.

    Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai kekuatan politis dan acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan ideologi Hindutva pada dekade-dekade berikutnya; pendirian Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan percabangan RSS—yang kemudian berhasil—yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan India.[128] Religiositas Hindu juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.[129]

    ^ Khanna 2007, hlm. xvii. ^ Misra 2004, hlm. 194. ^ Kulke 2004, hlm. 7. ^ a b Flood 1996, hlm. 21. ^ a b Smart 2003, hlm. 52-53. ^ a b Michaels 2004, hlm. 32. ^ a b Flood 1996. ^ Michaels 2004, hlm. 31, 348. ^ Muesse 2003. ^ a b Muesse 2011. ^ Muesse 2011, hlm. 16. ^ Smart 2003, hlm. 52, 83-86. ^ Smart 2003, hlm. 52. ^ Michaels 2004, hlm. 36. ^ a b Michaels 2004, hlm. 38. ^ Muesse 2003, hlm. 14. ^ Michaels 2004. ^ Flood & 1996 21-22. ^ Phillips, Nicky (24 Juli 2009). "DNA Confirms Coastal Trek to Australia". ABC Science.  ^ Cavalli-Sforza 1994, hlm. 241. ^ a b Thani Nayagam 1963. ^ a b Kumar 2004. ^ Flood 1996, hlm. 34. ^ a b Flood 1996, hlm. 30. ^ a b Mukherjee 2001. ^ Cordaux 2004. ^ a b Jones 2006, hlm. xvii. ^ Doniger 2010, hlm. 66. ^ "PHILTAR: Division of Religion and Philosophy". University of Cumbria.  Parameter |chapter= akan diabaikan (bantuan) ^ Possehl 2002, hlm. 154. ^ Possehl 2002, hlm. 141–156. ^ Witzel 1995, hlm. 3-4. ^ Singh 2008, hlm. 185. ^ a b Michaels 2004, hlm. 33. ^ Flood 1996, hlm. 30-35. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 5. ^ Allchin 1995. ^ Samuel 2010, hlm. 53-56. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 5-7. ^ a b c d Witzel 1995. ^ Samuel 2010, hlm. 48-51, 61-93. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 8-10. ^ Woodard 2006, hlm. 242 ^ Oberlies 1998, hlm. 158. ^ Singh 2008, hlm. 195. ^ Brockington 1984, hlm. 7. ^ a b c Samuel 2010. ^ Samuel 2010, hlm. 41-48. ^ Samuel 2010, hlm. 41-93. ^ Stein 2010, hlm. 48-49. ^ Samuel 2010, hlm. 61-93. ^ a b c Hiltebeitel 2007, hlm. 12. ^ Neusner 2009, hlm. 183 ^ Melton 2010, hlm. 1324. ^ Mahadevan 1956, hlm. 57. ^ Fowler 2012, hlm. xxii–xxiii. ^ Holdrege 2004, hlm. 215. ^ Panikkar 2001, hlm. 350-351. ^ Day & 1982 42–45. ^ Duchesne-Guillemin 1963, hlm. 46. ^ Singh 2008, hlm. 184. ^ Basham 1989, hlm. 74-75. ^ "Encyclopedia Britannica". Britannica.com.  Parameter |chapter= akan diabaikan (bantuan) ^ White 2006, hlm. 28. ^ Flood 1996, hlm. 82. ^ Neusner 2009, hlm. 184. ^ Zimmer 1989, hlm. 217. ^ Crangle 1994, hlm. 7. ^ Flood 2003, hlm. 273-4 ^ Pratt & 1996 90. ^ a b Larson 2009. ^ Cousins 2010. ^ a b Hiltebeitel 2007, hlm. 13. ^ Nath 2001, hlm. 21. ^ a b c Embree 1988, hlm. 277. ^ a b Larson 2009, hlm. 185. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 14. ^ "Itihasa". Religion Facts. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-25. Diakses tanggal 1 Oktober 2011.  ^ a b c Hiltebeitel 2007, hlm. 20. ^ Raju 1992, hlm. 211. ^ Basham, Arthur Llewellyn. "Encyclopædia Britannica". Britannica.com.  Parameter |chapter= akan diabaikan (bantuan) ^ Radhakrishnan & Moore 1967, hlm. xviii–xxi ^ a b Michaels 2004, hlm. 40. ^ Nakamura 2004, hlm. 687. ^ a b Thapar 2003, hlm. 325. ^ a b c Nath 2001, hlm. 19. ^ a b Embree 1988, hlm. 342 ^ Flood 1996, hlm. 131. ^ Sharma 1980, hlm. 5. ^ Bhattacharya 2011, hlm. 65. ^ michaels 2004, hlm. 41. ^ White 2000, hlm. 25-28. ^ a b c d Michaels 2004, hlm. 42. ^ Inden 1998, hlm. 67. ^ Thapar 2003, hlm. 325, 487. ^ a b Nath 2001. ^ Flood 1996, hlm. 113. ^ a b Thapar 2003, hlm. 487. ^ a b c Nath 2001, hlm. 20. ^ Nath 2001, hlm. 31-32. ^ Nath 2001, hlm. 32. ^ Nath 2001, hlm. 31. ^ Holt 2004, hlm. 12, 15. ^ Raju 1992, hlm. 177-178. ^ Nakamura 2004, hlm. 680. ^ a b King 1999. ^ a b Basham 1999 ^ Goel 1993, hlm. 38. ^ Sharma 1991, hlm. 112. ^ "Aurangzeb: Religious Policies". Manas Group, UCLA. Diakses tanggal 26 Juni 2011.  ^ "Halebidu - Temples of Karnataka". TempleNet.com. Diakses tanggal 17 Agustus 2006.  ^ J.T.F. Jordens, "Medieval Hindu Devotionalism" dalam Basham 1999 ^ Ncholson 2010, hlm. 2. ^ Lorenzen 2006, hlm. 24-33. ^ Lorenzen 2006, hlm. 27. ^ Lorenzen 2006, hlm. 26-27. ^ Nicholson 2010, hlm. 2. ^ Micaels 2004, hlm. 44. ^ a b King 2002. ^ King & 2002 118. ^ King 1999-B. ^ Jones 2006, hlm. 114. ^ King 2002, hlm. 119-120. ^ King 2002, hlm. 123. ^ Muesse 2011, hlm. 3-4. ^ Doniger 2010, hlm. 18. ^ Jouhki 2006, hlm. 10-11. ^ Ram-Prasad 2003, hlm. 526–550 ^ Rinehart 2004, hlm. 196-197.


    Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan

    Read less

Where can you sleep near Agama Hindu ?

Booking.com
491.006 visits in total, 9.210 Points of interest, 405 Destinations, 12 visits today.